Ber-arsitektur
﷽
Ketika membaca buku Ber-arsitektur yang ditulis oleh Purnama Salura ditemani kopi hangat pagi buatan isteri, saya diajak untuk kembali memikirkan kembali esensi arsitektur. Menurut pak PurSal bahwa ber-Arsitektur itu tidak lepas dari 4 (empat) kondisi yaitu "Membuat, Menggunakan, Mengalami, dan Memahami Arsitektur".
Apa yang terbersit dalam benak kita ketika mendengar kata arsitektur?
Jadi teringat 25 (dua puluh lima) tahun yang lalu saat memutuskan dan memilih jurusan Arsitektur, yang ada di benak saya adalah kelak bisa berkarir sebagai Arsitek, kemudian merancang rumah-rumah mega yang futuristik atau bangunan-bangunan tinggi yang tampak angkuh menapak bumi. Namun seiring perjalanan waktu, saya menyadari bahwa pendapat tersebut ternyata tidak sepenuhnya benar, karena setelah mengalami dan mamahami arsitektur, saya menyadari bahwa esensi arsitektur itu sendiri jauh lebih luas dan lebih dalam daripada itu.
Arsitektur seharusnya tidak hanya berkutat pada permainan tanda, bentuk dan visual semata, namun harus di pikirkan sebagai permainan emosi manusia. Tapak tidak hanya menjadi kanvas yang di lihat secara 3 (tiga) dimensional tanpa menstimulasi indera tubuh kita. Karena kita sibuk dalam desain komunikasi visual atau bentuk tanpa makna secara keruangan. Dengan segala teknologi 3 (tiga) dimensi dan perangkat untuk manipulasi gambar, kita lebih banyak berkutat lewat citra-citra spektakuler karena dorongan pasar. Arsitektur Bukan sekedar produk citra-citra sukses seorang arsitek di media sosial dengan citra rendering atau hasil olahan software olah foto yang spektakuler.
Menurut saya esensi arsitektur yang sesungguhnya terletak pada bagaimana memberi nilai tambah kepada sebuah lingkungan dan bangunan, sehingga dapat lebih memberi manfaat bagi lingkungan dan masyarakat di masa depan dan bukan sekedar dinilai dari geometrik desainnya.
Sebuah karya arsitektur yang dinilai baik itu ternyata tidak harus berdiri ditengah kota besar. Bisa terbangun diantara gang-gang sempit. Bisa pula berdiri di sebuah desa terpencil yang jauh dari modernitas. Bahkan bisa juga berada di tengah-tengah permukiman kumuh.
Dalam mendefinisikan kembali kata arsitektur saya jadi teringat kalimat Y.B. Mangunwijaya ada pada bagian akhir buku Wastu Citra:
“Arsitektur adalah penciptaan suasana, perkawinan guna dan citra. Bukan dalam kemewahan bahan atau tinggi teknologinya letak harganya. Bahan-bahan yang sederhana justru lebih mampu mencerminkan refleksi keindahan puisinya, karena lebih bersih dari godaan maupun kepongahan”
membandingkan dengan karya fisik arsitektur yang beliu bangun menunjukkan konsistensinya untuk menghasilkan karya-karya yang beridentitas arsitektur Indonesia. Filosofi beliau dalam berkarya sudah seharusnya menjadi panutan bagi arsitek-arsitek di Indonesia. Kesederhanaannya, keselarasannya dengan lingkungan, dan apresiasinya yang begitu besar pada budaya lokal, itulah yang membuat karya-karya beliau selalu tampak ‘menjejak bumi’—sesuai dengan konteks dimana ia berdiri. Mangunwijaya adalah arsitek yang tidak pernah kehilangan ideologinya. Pilihan hidup dan keberpihakan yang jelas menjadi sangat penting ketika dihadapkan dengan kegelisahan seorang arsitek. Jika mendengar kegelisahan-kegelisaha ini terbersit satu pertanyaan "apakah kita harus berarsitektur mulai sekarang?". Wallahu A'lam Bishawab.