Kerikil-kerikil putih



Pagi tadi, anak perempuan saya, Afaf, tiba-tiba menarik tangan saya dan menggiring saya menuju sendal jepit yang terpakir di serambi samping rumah. Saya sudah hafal aktifitas yang dia maksud, sekaligus tempat yang akan kami tuju. Inilah ritual yang kerap dia tagih ketika kami mengunjungi neneknya di Malalayang. Yah... menuju pantai yang tepat berada di samping rumah sambil melancarkan rayuan mautnya untuk berenang di pantai. Untuk turun menuju pantai kami harus melewati batu cadas dan terjal yang sengaja ditimbun untuk mengantisipasi gelombang pasang yang sering terjadi ketika musim angin barat. Kami menapaki batu-batu cadas ini dengan sangat hati-hati karena bisa saja tergelincir dan jatuh. Sayang kondisi air yang sedang surut tidak memungkinkan untuk di nikmati. Agar tidak mengecewakan Afaf, saya mangalihkan perhatiannya untuk mengumpulkan keriki-kerikil kecil berwarnah putih yang ada dipantai. Pantai Kampoeng Baroe - Malalayang ini memang kondisi permukaannya berbatu dan terdapat kerikil-kerikil kecil berwarnah putih diselah ribuan batu hitam, dengan latarbelakang skyline arsitektur kota Manado yang merefleksikan identitasnya sebagai ruang urban. Sengaja saya memilih kerikil-kerikil kecil berwarnah putih ini untuk dijadikan bahan miniatur tanaman yang menjadi kegemaran saya. Mungkin karena dia memiliki nilai yang harus dihargai atau karena memori saya tentang tempat ini. Jadi teringat ketika kecil saya dan teman-teman sebaya yang ada di Kampoeng Baroe ini sering berlomba menyelam (bakurebe bamudung) mencari batu putih yang kami lemparkan dan tenggelam ke dasar air.

Break sebentar... :-)

Di Boroko tempat keluarga kecil saya bermukim sekarang, juga berada di tepih laut, dengan kondisi permukaan pantai yang didominasi pasir dan sebagian pohon-pohon bakau. Sehingga aktifitas mengumpulkan kerikil-kerikil kecil berwarna putih tidak bisa kami lakukan. Kondisi tempat memang mempengaruhi aktifitas yang akan kita lakukan, dan menurut teori arsitektur yang saya yakini setiap tempat memiliki atmosfernya masing-masing dan dengan memahami atmosfer suatu ruang melalui indera, maka seorang arsitek dapat mempunyai persepsi tertentu yang terkait dengan karakter unik sebuah tempat dan pada akhirnya akhirnya akan membantu arsitek beralih fokus dari visual ke arah penciptaan atmosfer.

Balik lagi ke pantai Kampoeng Baroe....

Mengabil posisi jongkok kami mengumpulkan kerikil-kerikil putih yang ada di pantai ini, saya merenungi "kerikil-kerikil" yang selama ini saya genggam, besar-kecil, jelek-bagus, semua itu saya kumpulkan karena pada saat itu yah itulah yang saya perlukan. Jika hidup adalah sebuah perjalanan, sangatlah relevan jika saya menganalogikan dengan jalan yang saya tempuh menuruni batu cadas menuju pantai bersama Afaf pagi tadi. Jalanan yang berselimut batu cadas yang terkadang memiliki kerikil-kerikil tajam yang mau tidak mau harus saya jalani, tak pernah saya tau kerikil mana yang yang akan terinjak ataupun akan saya genggam berikutnya, dan kerikil mana yang akan saya lepas sesudah itu. Tak pernah saya tau kapan saya akan tergelincir dan terpaksa melepaskan semua yang selama ini digenggam erat. 

Matahari mulai meninggi Saya dan Afaf harus mengakhiri ritual ini, rasanya kerikil-kerikil putih yang terkumpul ini sudah cukup untuk dijadikan catatan sebuah perjalanan. Entah kenapa angin laut kembali mebisikkan pesan seorang sahabat, di tepi pantai Kampoeng Baroe ini, puluhan tahun yang lalu, "Pul, carilah tempat dimana kau merasa dirimu dihargai bukan dibutuhkan, karena terkadang orang lain datang hanya ketika butuh tapi lupa caranya menghargai." Sepi ini mengajarkan kita tentang arti kesederhanaan. Sesungguhnya kesederhanaan itu indah, tapi seringkali keindahan itu tidak dihargai. 

Kampoeng Baroe,  11 Dzulhijjah 1441 H.

Next Post Previous Post
1 Comments
  • Tira Soekardi
    Tira Soekardi 2 Agustus 2020 pukul 04.05

    menarik

Add Comment
comment url