Perlukah IMB di hapus?
Sepertinya wacana penghapusan IMB (Izin Mendirikan Bangunan
Gedung) yang dilontarkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil belum menjadi isu penting
dikalahkan dengan berita tentang revisi UU KUHP dan demo mahasiswa beberapa hari belakangan ini.
Mungkin karena memang IMB dan SLF (Sertifikat Laik Fungsi) bangunan gedung belum dianggap
sesuatu hal yang serius? Paradigma sebagian masyarakat selama ini tentang IMB adalah sebagai
bagian dari pos pendapatan daerah, dimana IMB diberikan oleh pemerintah daerah kepada
pemohon, kemudian pemohon membayar sejumlah retribusi kepada pemerintah daerah dan tercatat sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dari pengalaman saya pribadi banyak orang mengurus IMB karena kepentingan untuk
mendapatkan kredit dari bank yang secara aturan perbankan menjadi salah satu
syarat pencairan kredit. Sehingga banyak bangunan yang sudah terlajur terbangun baru kemudian mengurus IMB-nya Padahal seharusnya IMB di ajukan sebelum membangun.
Mengapa IMB dihapuskan?
Ada sejumlah alasan disampaikan Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengapa?
- IMB dianggap menjadi salah satu faktor penghambat investasi, terutama sektor properti.
- Penghapusan IMB diharapkan bisa memberikan kemudahan kepada masyarakat dan membuat proses pembangunan lebih mudah.
- Kedepannya, tanpa IMB diharapkan investasi akan semakin baik, dengan standar bangunan yang ditetapkan.
Setelah membaca berita tentang wacana penghapusan IMB saya
teringat tentang peristiwa kebakaran yang terjadi pada Jum’at siang, 21 Juni
2019 di pabrik industri rumahan korek api gas di jalan Tengku Amir Hamzah,
Dusun IV Desa Sambirejo, Kecamatan Binjai, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara. Dalam peristiwa itu setidaknya ada 30 (tiga puluh) orang
meninggal dunia, 5 (lima) orang diantaranya anak-anak. Rata-rata korban tewas
berjenis kelamin perempuan. Anak-anak yang menjadi korban kebakaran adalah anak
dari pekerja. Para korban diduga tidak bisa menyelamatkan diri karena seluruh
akses dikunci saat pekerjaan berlangsung.
Mari kita mencermati peristiwa ini dari sisi teknis bangunan, sebuah bangunan yang
awalnya berfungsi sebagai rumah tinggal beralih fungsi menjadi pabrik korek api
gas yang sangat rentan dengan resiko kebakaran dan berada ditengah-tengah
permukiman penduduk. Ketika peristiwa kebakaran itu terjadi siapa yang akan
disalahkan? Ada yang bertanya sehubungan dengan peristiwa itu, “dimana
kehadiran negara yang berfungsi sebagai regulator dalam penyelenggaraan
bangunan gedung?”
Sebuah bangunan yang secara arsitektural awalnya dirancang
untuk fungsi hunian tentu sangat berbeda dengan bangunan yang difungsikan untuk pabrik,
kompleksitasnyapun berbeda, dimana untuk bangunan pabrik tentu kita perlu
memperhitungkan resiko kebakaran baik dari jalur evakuasi, penempatan fire
springkler, sampai dengan penempatan smoke detector.
Nah, dari sisi ini kita tidak bisa melihat sebuah bangunan dari nilai
investasinya saja, atau dari kacamata ekonomi semata. Ada sisi teknis yang
tidak boleh kita abaikan begitu saja sebab menyangkut keselamatan nyawa
manusia. Untuk meminimalisir dampak dari kejadian seperti ini kita perlu
instrumen kontrol guna memastikan bahwa persyaratan-persyaratan keselamatan
bangunan gedung bisa terpenuhi.
Kemarin pagi Kamis, 26 September 2019 kita dikejutkan dengan
berita gempa bumi yang mengguncang Maluku dengan kekuatan 6,5 magnitudo.
Menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tercatat 23 orang
meninggal dunia, dan lebih dari 100 orang menderita luka-luka disebabkan
reruntuhan bangunan saat gempa. Sekitar 15.000 warga masih mengungsi pasca
gempa dikarenakan rumah mereka yang rusak dan mengantisipasi gempa susulan yang
membahayakan bangunan tempat tinggal mereka.
Dari kedua peristiwa yang saya gambarkan sebelumnya ada
baiknya kita mengambil pelajaran. Yah memang semua itu adalah takdir yang sudah
digariskan oleh yang Maha Kuasa, namun
sebagai manusia sebaiknya kita berihtiar dan berusaha mengurangi dampak yang
ditimbulkan oleh bencana.
Kita menyadari bahwa Indonesia merupakan salah satu negara
yang menghadapi ancaman kebencanaan yang sangat tinggi. Hal ini dapat kira
rasakan dengan berbagai peristiwa gempa bumi dan tsunami, letusan gunung
berapi, banjir, longsor, angin kencang. Dengan kondisi maraknya bencana
ditambah lagi dengan kondisi kerentanan masyarakat Indonesia yang sangat
tinggi, karena tekanan pertumbuhan penduduk dan tingkat kemiskinan yang tinggi,
kondisi ekonomi, sosial dan politik yang tidak stabil, serta kegiatan
pembangunan yang banyak mengabaikan prinsip-prinsip keberlanjutan, Indonesia
menghadapi risiko kebencanaan yang sangat tinggi.
Salah satu penyebab kerentanan fisik dan lingkungan adalah
kegiatan manusia dalam membangun lingkungan binaanya, dan hal ini sangat erat
kaitannya dengan bangunan gedung. Cara membangun yang salah, baik dari segi
perencanaan dan perancangan maupun dari segi pelaksanaan dan pengawasannya
dapat menghasilkan bangunan gedung yang rentan terhadap bencana, selain itu
dapat menyebabkan degradasi lingkungan. Hal ini akan meningkatkan kerenctanan
suatu wilayah dan masyarakatnya, sehingga akan meningkatkan risiko bencana.
Bila terjadi suatu bencana, maka bangunan gedung dapat menjadi tidak berfungsi
atau bahkan menyebabkan korban jiwa ketika bencana terjadi dan akan menimbulkan
kerugian yang lebih luas, karena hancurnya bangunan dan infrastruktur lainnya.
Untuk meminimalisir hal-hal tersebut kita perlu sebuah
instrumen kontrol dalam memastikan persyaratan kehandalan teknis dan
keselamatan bangunan gedung terpenuhi. Sepertinya kita harus merubah paradigma lama
kita tentang IMB. Bahwa dibalik persyaratan teknis dan administratif IMB yang
seabrek itu, tujuan yang ingin dicapai adalah terpenuhinya persyaratan kehandalan
teknis dan keselamatan bangunan gedung sebagai bentuk perwujudan kehadiran
negara dalam penyelenggaraan bangunan gedung untuk kemaslahatan dan keselamatan masyarakat.
Pertanyaannya sekarang, perlukah IMB dihapus?